Sabtu, 03 April 2010

“Pencatatan Perkawinan, Akte Nikah, dan Perjanjian Perkawinan”

Pencatatan Perkawinan, Akte Nikah, dan Perjanjian Perkawinan

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.[1]Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah (نكاح) yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.

Menurut istilah, nikah/kawin dalam hukum Islam sendiri terdapat beberapa definisi, di antaranya adalah:

Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.

1. Abu Yahya Zakariya Al Anshary mendefinisikan:

Nikah menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya.

2. Zakiah Dradjat menurutnya perkawinan:

Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau tazwij atau semakna dengan keduanya.

3. Abu Zahrah dalam kitabnya al akhwal al syakhsiyyah, mendefinisikan nikah:

Sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan, saling tolong menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.

Kata-kata “menimbulkan akibat hukum” dan “menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya (si suami dan si istri)dari definisi ini menjadi kata kunci yang akan saya bahasan saya yang bertema “Perkawinan, Antara Hukum Islam dan Hukum Positif Indonseia yang saya beri judul “Pencatatan Perkawinan, Akte Nikah, dan Perjanjian Perkawinan”.

Dr. H. Amiur Nuruddin, MA dan Drs. Azhari Akmal Tarigan, M. Ag dalam buku “Hukum Perdata Islam di Indonesia” menyatakan bahwa perkawinan itu merupakan sebuah akad, kontrak atau perikatan. Pengertian perkawinan sebagai sebuah akad lebih sesuai dengan pengertian yang dimaksud oleh undang-undang. Pernyatan ini jika dianalisis dengan seksama maka akan bertemu dengan definisi nikah Abu Zahrah yang pada penggalan kata-kata terkahir nikah menimbulkan hak dan kewajiban yang juga bagian dari definisi hukum. Jadi, kalau perkawinan ini masuk dalam kategori perbuatan hukum, maka dapat diketahui dengan jelas bahwa perkawinan termasuk dalam ruang lingkup hokum perdata dan muamalah (hukum perdata Islam).

Pencatatan perkawinan, akte nikah dan perjanjian perkawinan perspektif dikih (hukum Islam)

Akad dalam nikah adalah salah satu rukun nikah yang disepakati. Kendati demikian tidak ada syarat bahwa akad nikah itu harus dituliskan (dicatat) atau diaktekan. Atas dasar inilah fikih Islam tidak mengenal adanya pencatatan perkawinan.[2] Perjanjian perkawinan juga tidak ditemukan di dalam syarat maupun rukun nikah menurut hukum Islam, karena baik Alqur’an maupun Hadis Nabi SAW memang tidak pernah ada pernyataan demikian. Namun ada satu ayat dan Hadis Nabi SAW yang paling tidak bisa dijadikan argumen bahkan sandaran hukum pencataran perkawinan, akte nikah dan perjanjian perkawinan ini. Firman Allah SWT:

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 Ÿwur z>ù'tƒ ë=Ï?%x. br& |=çFõ3tƒ $yJŸ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãŠø9ur Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u ... ÇËÑËÈ

Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya...” (Q.S Albaqarah: 282)

[179] Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya.

Di kalangan para intelektual Muslim-pun ada yang tidak sependapat dengan hal ini karena menurut mereka pencatatan pada Q.S. Albaqarah: 282 tersebut ditujukan hanya untuk jual beli bukan untuk pencatatan perkawinan. Akan tetapi jika dicermati lagi dengan seksama pada kata “muamalah” pada kalimat “apabila kamu bermuamalah” sepertinya ditujukan bukan semata-mata untuk transaksi jual beli. Bukankah muamalah (dalam arti luas yaitu hokum perdata Islam) juga mencakup perkawinan?

Masih mengenai pencatatan perkawinan dan akte nikah, Rasulullah SAW pernah bersabda yang artinya: “adakanlah walimah walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing”. Walimah disini arti sederhananya adalah pesta perkawinan (resepsi) sebagai wujud ras syukur kepad Allah SWT dan sebagai media pemberitahuan kepada hal layak ramai bahwa baru saja telah terjadi peristiwa hukum yaitu perkawian yang sah menurut syara’ , yang mana tujuannya adalah untuk menghindari fitnah di masyarakat.



[1] DepDikBud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), cet. Ke-3, edisi kedua, h. 456.

[2] Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawimam Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia (Jakarta-Leiden: INIS, 2002), h. 139.