Sabtu, 03 April 2010

“Pencatatan Perkawinan, Akte Nikah, dan Perjanjian Perkawinan”

Pencatatan Perkawinan, Akte Nikah, dan Perjanjian Perkawinan

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.[1]Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah (نكاح) yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.

Menurut istilah, nikah/kawin dalam hukum Islam sendiri terdapat beberapa definisi, di antaranya adalah:

Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.

1. Abu Yahya Zakariya Al Anshary mendefinisikan:

Nikah menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya.

2. Zakiah Dradjat menurutnya perkawinan:

Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau tazwij atau semakna dengan keduanya.

3. Abu Zahrah dalam kitabnya al akhwal al syakhsiyyah, mendefinisikan nikah:

Sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan, saling tolong menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.

Kata-kata “menimbulkan akibat hukum” dan “menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya (si suami dan si istri)dari definisi ini menjadi kata kunci yang akan saya bahasan saya yang bertema “Perkawinan, Antara Hukum Islam dan Hukum Positif Indonseia yang saya beri judul “Pencatatan Perkawinan, Akte Nikah, dan Perjanjian Perkawinan”.

Dr. H. Amiur Nuruddin, MA dan Drs. Azhari Akmal Tarigan, M. Ag dalam buku “Hukum Perdata Islam di Indonesia” menyatakan bahwa perkawinan itu merupakan sebuah akad, kontrak atau perikatan. Pengertian perkawinan sebagai sebuah akad lebih sesuai dengan pengertian yang dimaksud oleh undang-undang. Pernyatan ini jika dianalisis dengan seksama maka akan bertemu dengan definisi nikah Abu Zahrah yang pada penggalan kata-kata terkahir nikah menimbulkan hak dan kewajiban yang juga bagian dari definisi hukum. Jadi, kalau perkawinan ini masuk dalam kategori perbuatan hukum, maka dapat diketahui dengan jelas bahwa perkawinan termasuk dalam ruang lingkup hokum perdata dan muamalah (hukum perdata Islam).

Pencatatan perkawinan, akte nikah dan perjanjian perkawinan perspektif dikih (hukum Islam)

Akad dalam nikah adalah salah satu rukun nikah yang disepakati. Kendati demikian tidak ada syarat bahwa akad nikah itu harus dituliskan (dicatat) atau diaktekan. Atas dasar inilah fikih Islam tidak mengenal adanya pencatatan perkawinan.[2] Perjanjian perkawinan juga tidak ditemukan di dalam syarat maupun rukun nikah menurut hukum Islam, karena baik Alqur’an maupun Hadis Nabi SAW memang tidak pernah ada pernyataan demikian. Namun ada satu ayat dan Hadis Nabi SAW yang paling tidak bisa dijadikan argumen bahkan sandaran hukum pencataran perkawinan, akte nikah dan perjanjian perkawinan ini. Firman Allah SWT:

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 Ÿwur z>ù'tƒ ë=Ï?%x. br& |=çFõ3tƒ $yJŸ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãŠø9ur Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u ... ÇËÑËÈ

Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya...” (Q.S Albaqarah: 282)

[179] Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya.

Di kalangan para intelektual Muslim-pun ada yang tidak sependapat dengan hal ini karena menurut mereka pencatatan pada Q.S. Albaqarah: 282 tersebut ditujukan hanya untuk jual beli bukan untuk pencatatan perkawinan. Akan tetapi jika dicermati lagi dengan seksama pada kata “muamalah” pada kalimat “apabila kamu bermuamalah” sepertinya ditujukan bukan semata-mata untuk transaksi jual beli. Bukankah muamalah (dalam arti luas yaitu hokum perdata Islam) juga mencakup perkawinan?

Masih mengenai pencatatan perkawinan dan akte nikah, Rasulullah SAW pernah bersabda yang artinya: “adakanlah walimah walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing”. Walimah disini arti sederhananya adalah pesta perkawinan (resepsi) sebagai wujud ras syukur kepad Allah SWT dan sebagai media pemberitahuan kepada hal layak ramai bahwa baru saja telah terjadi peristiwa hukum yaitu perkawian yang sah menurut syara’ , yang mana tujuannya adalah untuk menghindari fitnah di masyarakat.



[1] DepDikBud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), cet. Ke-3, edisi kedua, h. 456.

[2] Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawimam Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia (Jakarta-Leiden: INIS, 2002), h. 139.

Minggu, 28 Februari 2010

Prof. Satjipto Rahardjo (alm), Pakar Hukum Progresif Terbaik Yang Pernah Dimiliki Indonesia


Satjipto Rahardjo dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif

(Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi RI edisi september 2009)jurnal 1

oleh:

Feri Amsari

Sejak hukum itu dijarah oleh banjir rasionalisme dan rasionalisasi, maka ia menjadi institusi yang terisolasi dan asing…maka menjadi tugas para ilmuwannya untuk mengutuhkan kembali hukum, menyatukan kembali hukum dengan lingkungan, alam dan orde kehidupan yang lebih besar.”[1]

(Satjipto Rahardjo, 2006)

Catatan Awal

Tidak banyak catatan publik yang bisa diakses dengan baik mengenai perjalanan hidup Satjipto Rahardjo. Bahkan situs pencari ”sekelas” google atau wikipedia pun tidak memiliki catatan berarti mengenai perjalanan karir Satjipto. Situs-situs di Internet lebih banyak memuat tulisan-tulisan dan komentar-komentarnya mengenai kondisi sosial, hukum, politik, budaya serta keterkaitannya dengan sosiologi hukum. Dari biodata di buku-buku karyanya memang dapat diketahui beberapa hal umum mengenai riwayat Guru Besar Emiritus bidang kajian sosiologi hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tersebut. Pak Tjip, demikian ”Sang Guru” ini biasa dipanggil, lahir di Karanganyar, Banyumas, Jawa Tengah pada tanggal 15 Desember 1930. Di kampung halaman (Jawa Tengah) itu pulalah kemudian yang menjadi tempat Pak Tjip berlabuh dalam mengabdikan diri sebagai seorang pakar. Pak Tjip merupakan salah satu ahli yang dianggap mampu memengaruhi dunia pemikiran hukum di Indonesia dengan tulisan-tulisannya.

Khudzaifah Dimyati, salah seorang mahasiswa Satjipto, menyebutnya sebagai pemikir transformatif yang berorientasi pada ranah teoritis. Konsep pemikiran yang berbasis kepada teori-teori tersebut menurut Dimyati adalah tradisi yang identik dengan kalangan intelektual Barat.[2] Hal itu mungkin dilatarbelakangi oleh faktor pendidikan Satjipto. Menyelesaikan pendidikan hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada Tahun 1960 dan kemudian mengikuti program visiting scholar selama 1 tahun di Universitas California, Amerika, pada medio 1972 setidaknya memiliki pengaruh besar bagi cara pandang keilmuan Pak Tjip.

Kurun yang sama ketika Pak Tjip sedang mendalami kajian ilmu hukum di negeri Paman Sam tersebut, pada Tahun 1970-an itu sebuah gerakan hukum yang juga dilandasi pandangan sosiologi hukum sedang berkembang di Amerika. Gerakan yang menyebut ”ideologinya” sebagai critical legal studies (CLS) tersebut mewabah dalam cara pandang ilmuwan hukum negara adikuasa tersebut. CLS atau Studi Hukum Kritis itu sendiri merupakan perkembangan pemikiran sosiologi hukum, bidang yang digeluti oleh Satjipto dengan ”teguh” dari awal karir hukumnya. Catatan ini tidak bermaksud menyebutkan cara pandang keilmuwan Satjipto adalah cara pandang yang sepenuhnya dipengaruhi Studi Hukum Kritis tersebut, namun setidak-tidaknya Satjipto sedikit banyaknya merasakan ”cakrawala” intelektual di Amerika ketika gerakan CLS itu diusung.

Selepas ’kunjungannya” ke Amerika, Satjipto kemudian melanjutkan kuliah doktoralnya di Universitas Diponegoro. Ia menyelesaikan kuliah doktoral tersebut pada Tahun 1979. Ia kemudian menjadi salah satu panutan utama studi sosiologi hukum di tanah air. Tulisan-tulisan ilmiah lepas dan buku-bukunya menjadi pokok perdebatan pemikiran hukum serta pelbagai diskursus sosiologi hukum. Terhadap hasil karya dan pemikirannya itu, Satjipto pantas ditasbihkan oleh sebagian kalangan sebagai salah satu begawan hukum terbesar yang dimiliki Indonesia saat ini.

Pandangan sosiologi hukum yang mengalir deras dari perspektif Satjipto sangat banyak menghiasi media-media massa cetak dalam bentuk artikel opini maupun melalui wawancara. Satjipto adalah salah satu penulis opini di Kompas yang memiliki tempat terhormat tersendiri dengan sudut pandang sosiologi hukumnya. Puluhan buku telah dihasilkan oleh Satjipto dan berhasil menjadi ”buah bibir” oleh pelbagai kalangan, baik yang menganut sosiologi hukum maupun oleh para pengkritik yang berasal dari bidang ilmu hukum atau sosiologi.

Sebagai pakar, Satjipto tentu juga pernah menduduki jabatan prestigious bahkan di era Soeharto. Melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 yang menjadi pegangan Ali Said (Mantan Ketua Mahkamah Agung) untuk menunjuk beberapa tokoh nasional sebagai anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) yang pertama di Indonesia. Pada tanggal 7 Desember 1993, Satjipto Rahardjo menjadi salah satu dari 25 tokoh yang menduduki jabatan sebagai anggota KOMNAS HAM pertama tersebut bersama Soetandyo Wignyosoebroto yang juga sejawatnya sesama pakar sosiologi hukum Indonesia.

Guru Besar yang benar-benar sangat produktif dan progresif dalam menghasilkan karya-karya ilmiah berbentuk buku ini bisa dikatakan tak pernah berhenti menghasilkan karya-karya setiap tahunnya. Hampir bisa dikatakan tidak ada tahun yang tidak diisi dengan menghasilkan karya yang mengagumkan. Buku berjudul Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum ditulisnya pada Tahun 1977. Kemudian disusul buku berjudul Hukum, Masyarakat dan Pembangunan pada Tahun 1980. Bahkan ditahun yang sama, 1980, terbit buku berjudul Hukum dan Masyarakat. Berturut-turut kemudian terbit buku berjudul, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis (1981), Ilmu Hukum (1982), Permasalahan Hukum di Indonesia (1983), Hukum dan Perubahan Sosial (1983), Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah (2002), Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia (2003), Membedah Hukum Progresif (2006), Hukum dalam Jagat Ketertiban (2006), Biarkan Hukum Mengalir (2007), dan salah satu yang terbaru buku berjudul, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya (2008). Kemudian di tahun 2009 ini terbit beberapa buku, yaitu; Lapisan-lapisan dalam Studi Hukum, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia, dan Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis.

Dari tinjauan kepustakaan yang coba penulis gali, penulis sendiri berkeyakinan masih terdapat karya-karya lain dari Prof. Tjip yang tidak ”terdeteksi”. Penulis mengakui memiliki keterbatasan kemampuan untuk menjelajahi tulisan-tulisan ilmiahnya dipelbagai Jurnal dan Majalah. Setidaknya tulisannya di media massa telah mencapai ratusan artikel bahkan mungkin ribuan. Di Kompas saja, menulis dari Tahun 1975 (33 tahun lebih), menurut catatan wartawan Kompas, Subur Tjahjono, berdasarkan database dari Pusat Informasi Kompas, artikel yang ditulis anak Banyumas ini telah lebih dari 367 (per 23 Juni 2009) dan masih diminati sebagai karya yang mampu memberikan opini pembanding dan solutif.[3]

Menurut Pak Tjip minat menulisnya mulai terasah ketika duduk di bangku SMP (1944-1947). Kebiasaan Pak Tjip memberikan catatan kecil berkaitan dengan kondisi terkini kala itu di dalam sebuah buku dengan dilengkapi gambar-gambar (merupakan karya pertamanya diminati oleh masyarakat, setidaknya rekan-rekan satu sekolahnya) telah menjadi awal mula tumbuhnya rasa kecintaan Satjipto pada dunia tulis menulis. Setelah itu, 28 tahun pasca menyelesaikan bangku SMP, tulisan pertamanya dimuat di salah satu media nasional populer. Titik itu kemudian menjadi awal mula ”gelombang” kampanye pemikiran mengenai sosiologi hukumnya di pelbagai media nasional, jurnal, dan buku-buku.

Terhadap kebiasaan menulisnya kakek 14 cucu ini memberikan pengandaian yang menarik. Baginya menulis adalah seni, dan seni sama dengan buang air kecil. Sebagaimana buang air kecil, maka menurut Satjipto seluruh perasaan tidak akan nyaman sebelum ”beban” tersebut dilepaskan.[4] Dari filosofi itu, bagi Satjipto menulis berkaitan erat antara perasaan dan pemikiran. Pemikiran mengenai permasalahan hukum bagi Satjipto akan membuat perasaan terasa lebih lega jika telah dituliskan dalam bentuk sebuah artikel ataupun buku.

Akar pemikiran

Tidak lengkap rasanya jika mengkaji seorang Satjipto tanpa menelusuri seluk beluk akar pemikiran sosiologi hukum yang ditekuninya. Sebab itu layak jika kiranya dituturkan terlebih dahulu secara ”sederhana” mengenai timbul dan berkembangnya ilmu sosiologi hukum yang digeluti begawan hukum Indonesia tersebut.

Sosiologi hukum[5] sebelum diperkenalkan Maxmillian Weber sesungguhnya secara praktis telah menjadi kajian dari para ilmuwan-ilmuwan terkemuka di pelbagai zaman. Georges Gurvitch setidaknya adalah salah satu ilmuwan yang menggolongkan Aristoteles, Hobbes, Spinoza, dan Montesquieu sebagai pengkaji sosiologi hukum dari aneka zaman. Baik era pra modern hingga modern. Bahkan saat ini keilmuwan mereka tetap dihargai sebagai bagian tak terpisah untuk dikaji oleh generasi keilmuwan masa post modern. Hal itu tidak lain menurut Gurvitch karena kajian sosiologi hukum itu timbul dengan serta-merta dalam penyelidikan sejarah dan etnografi yang berkenaan dengan hukum, dan juga dalam penyelidikan di lapangan hukum yang sekaligus mencari tujuan lain, misalnya dalam hal mencari solusi ideal terhadap masalah sosial.[6]

Menurut Satjipto, sosiologi hukum memiliki basis intelektual dari paham hukum alam (lex naturalist),[7] itu sebabnya capaian paham sosiologi hukum adalah untuk menyelesaikan persoalan kehidupan manusia dan lingkungannya. Filosofi dari teori hukum alam adalah kesatuan dengan kondisi lingkungan. Karena itu, kalangan sosiologi hukum selalu mengaitkan aturan hukum dengan kondisi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Bahkan terbentuknya sebuah negara berdasarkan teori du contract social yang dipopulerkan J.J. Rosseau pun harus diakui merupakan kajian sosiologi hukum, bahkan ketika manusia masih dalam kelompok-kelompok kecil di ”alam liar”.

Menurut Kranenburg yang mensitir pandangan Locke, menuturkan bahwa ketika di masa ”purba” sesungguhnya pemberlakuan hukum yang melindungi hak-hak asasi manusia sudah terjadi. Kemudian secara berlahan-lahan timbulah kontrak sosial antara masyarakat untuk membentuk pemerintahan yang mampu melindungi hak-hak manusia yang sebelumnya dilindungi secara hukum alamiah (moral kemasyarakatan). Selengkapnya Kranenburg mengisahkan sebagai berikut;

menurut alam manusia berhak atas beberapa hak, malahan atas hak-hak yang paling penting, hak hidup, hak kemerdekaan, hak milik. Sekarang tujuan perjanjian pembentukan negara adalah menjamin suasana hukum individu secara alam itu; kekuasaan Pemerintah dengan demikian menemukan batasnya dalam suasana hukum individu secara alam itu. Apabila pemerintah memperkosa suasana hukum itu, maka ia bertentangan dengan tujuan utama perjanjian masyarakat; maka ”gezag” pemerintah secara absolut memperkosa hakekat asasi perjanjian untuk pembentukan negara.[8]

Paparan Kranenburg di atas memperlihatkan bahwa masyarakat mengkreasikan hukum demi perlindungan lingkungan sosialnya sendiri. Kajian mengenai kondisi lingkungan sosial itu dari hari ke hari kemudian berkembang. Bahkan kajian sosiologi hukum kekinian juga menyentuh ”tema” mengenai kondisi lingkungan dan hubungan manusia dan alam itu sendiri. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Green Constitution menuturkan relasi hukum dan perlindungan lingkuan hidup tempat masyarakat sosial tumbuh dan berkembang. Jika dicermati kutipan Jimly dalam bukunya mengenai Article 1 Konstitusi Vermont bahwa;

Semua orang dilahirkan sama-sama bebas dan merdeka serta memiliki hak-hak tertentu yang bersifat alami, inheren, dan tidak dapat dikurangi. Di antara hak-hak itu adalah hak untuk menikmati dan mempertahankan hidup dan hak atas kebebasan mendapatkan, memiliki, dan melindungi hak milik (acquiring, possesing, and protecting property), dan mencari serta mendapatkan kebahagian hidup dan keselamatan.[9]

Kutipan Jimly tersebut memperlihatkan telah terjadi kaitan antara ilmu lingkungan dan Hukum Tata Negara. Kaitan dua ilmu tersebut bisa dikatakan sebagai bagian dari ilmu sosiologi hukum. Keterkaitan Hukum Tata Negara dan sosiologi hukum sesungguhnya telah pula ditelusuri oleh pakar-pakar Hukum Tata Negara dan politik lampau seperti Montesquieu. Sosiologi hukum Montequieu memperlebar dasar penyelidikan Aristoteles dengan menyajikan masalah hubungan antara sosiologi hukum dan cabang sosiologis lainnya, khsususnya ekologi sosial yang menyelidiki dan menelaah volume suatu masyarakat, bentuk dan bangunan tanahnya, sifat khas geografisnya, dan lain-lain dalam hubungannya dengan kepadatan penduduk.[10] Walaupun tidak langsung menceritakan aturan hukum yang peduli kepada pelestarian lingkungan, namun tautan itu memperlihatkan bahwa pemikiran sosiologi hukum setidaknya telah merangkai jalan menuju pemikiran hukum ”hijau” sebagaimana saat ini sedang di dengung-dengungkan oleh pelbagai pakar hukum.

Teori hukum alam yang menjembatani institusi hukum kepada dunia manusia dan masyarakat menjadikan tujuan dari kehadiran hukum tidak dapat dipungkiri adalah penemuan rasa keadilan secara otentik. Bukan terlibat ke dalam wacana hukum positif yang berkonsentrasi kepada bentuk prosedur serta proses formal hukum.[11] Hubungan hukum dan manusia serta masyarakat itu juga dijelaskan oleh Thomas Hobbes dalam Leviathan bahwa lex naturalis yang merupakan suatu aturan atau aturan umum, diperoleh melalui nalar, dimana manusia dilarang membuat sesuatu, yang berbahaya terhadap kehidupannya, atau menghilangkan sarana-sarana pelestarian kehidupan itu.[12]

Pandangan tersebut memperlihatkan bahwa hukum dan masyarakat merupakan bangunan yang terus berkembang, tidak terjebak kepada bentuk normatif yang mati rasa. Sebagaimana dinyatakan Satjipto;

Teori hukum alam selalu menuntun kembali sekalian wacana dan institusi hukum kepada basisnya yang asli, yaitu dunia manusia dan masyarakat…Kebenaran hukum tidak dapat dimonopoli atas nama otoritas para pembuatnya, seperti pada aliran positivisme, melainkan kepada asalnya yang otentik…norma hukum alam, kalau boleh disebut demikian, berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan cita-cita keadilan yang wujudnya berubah-ubah dari masa ke masa.[13]

Sosiologi Hukum Modern

Sosiologi hukum modern sesungguhnya secara ”formal” baru lahir pada sekitar Tahun 1960-an.[14] Di antara guncangan kepercayaan terhadap ketidak mampuan hukum tertulis dalam menyelesaikan permasalahan kemasyarakatan, paham sosiologi hukum kemudian menyeruak kepermukaan. Seketika menjadi lahan perdebatan di antara para pakar.

Kelahiran ilmu sosiologi hukum memang masih menimbulkan perdebatan yang menarik di antara para pakar. Menurut Georges Gurvitch penggabungan dua ranah ilmu tersebut kontroversi dikarenakan para pakar terkooptasi pada ranah pengetahuannya masing-masing. Ilmuwan hukum pada umumnya terjebak dengan hanya memehatikan masalah-masalah quid juris semata, begitu juga sebaliknya para pakar sosiologi hanya memerhatikan quid facti saja.[15] Pakar hukum dan filsuf hukum mengkhawatirkan sosiologi hukum akan menyebabkan legitimasi norma menjadi hilang dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Norma hukum tidak mampu mengatur fakta-fakta sosial yang ada. Ilmuwan sosiologi juga mengkhawatirkan keberadaan sosiologi hukum, mereka berpendapat bahwa kehadiran sosiologi hukum akan menghadirkan kembali penilaian baik-buruk (value judgement) semata dalam penyelidikan fakta-fakta sosial pada lapangan praktis.[16]

Hans Kelsen adalah salah satu dari pakar hukum kenamaan yang menentang kehadiran konsep sosiologi hukum. Kelsen yang sangat positivistik ’mencurigai” keberadaan Sosiologi Hukum yang membedakan hukum positif antara yang dipelajari dan diterapkan.[17] Hukum yang oleh kalangan sosiologi hukum sebagai seperangkat peraturan seringkali tidak mampu menjangkau keadilan substansi di masyarakat yang menjadi tujuan pembentukan hukum itu sendiri. Cara berpikir sosiologi hukum tersebut tentu berseberangan dengan Kelsen dan penganut aliran positivisme lainnya (juga dikenal dengan legisme) yang menganggap bahwa hukum adalah apa yang dinyatakan dalam UU. Kehadiran sosiologi hukum tentu saja menimbulkan pertentangan riuh rendah dan tak kunjung usai di antara para pemikir hukum. Penganut aliran legisme berpandangan seluruh permasalahan sosial akan terselesaikan apabila telah dikeluarkan undang-undang yang mengaturnya.[18] Karena itu kalangan legisme ini begitu menjunjung tinggi hukum dengan mentasbihkan slogan yang terkemuka yaitu the rule of law. Hukum yang mengatur, menertibkan, bahkan menjadi ”pemimpin” yang menentukan arah sebuah negara. Friedmann menyatakan bahwa;

The rule of law simply means the ”existence of public order”. It means organized government, operating through the various instruments and channels of legal command. In this sense, all modern societies live under the rule of law, fascist as well as socialist and liberal states.[19]

Namun sosiologi hukum terus bergerak mempengaruhi pelbagai cara pandang dan corak berpikir ilmuwan hukum dari waktu ke waktu. Sosiologi hukum selalu bertindak dengan “kecurigaan” intelektual. Sosiologi hukum tidak mau begitu saja percaya kepada aturan hukum berupa kebijakan maupun putusan peradilan, karena menurut mereka aturan tersebut dapat saja menimbulkan konflik.[20] Hal itu tidak terlepas dari karakter hukum yang sangat “manusiawi”, Satjipto dalam bukunya Ilmu Hukum menyatakan bahwa sosiologi hukum memiliki beberpa karakteristik, yaitu:

  1. interpretative understanding, sosiologi hukum mencoba memahami sisi sosial dari peraturan perundang-undangan dan praktek-praktek hukum. Sosiologi hukum mencoba menjelaskan bagaimana praktek-praktek hukum tersebut bisa terjadi, sebab-sebabnya, faktor-faktor apa yang berpengaruh, latar belakangnya, dan sebagainya;
  2. empirical validity, sosiologi hukum selalu mencari tahu keshahihan aturan-aturan hukum dalam penerapannya. Perbedaan yang besar antara pendekatan tradisional yang normatif dan pendekatan sosiologis adalah, bahwa yang pertama menerima saja apa yang tertera pada peraturan hukum, sedang yang kedua senantiasa mengujinya dengan data (empiris);
  3. sosiologi hukum tidak memberikan penilaian terhadap praktek penegakan hukum, melainkan mendekati hukum dari segi objektivitas semata bertujuan memberikan penjelasan terhadap fenomena hukum yang nyata.[21]

Karakteristik yang berbau humanistik itulah yang akhirnya menyentuh sanubari keilmuwan Satjipto. Pulang dari Amerika pada 1972, ia semakin meneguhkan diri untuk ”mengkampanyekan” hukum yang berhati nurani (baca: sosiologi hukum). Pada masa itu pola penegakkan hukum di Indonesia bisa dikatakan masih sangat positivistik yang berkarakter selalu mengikuti kehendak penguasa. Penegakan hukum dengan ideologi normatif namun pada satu saat sangat ”karet”, sesuai dengan kehendak penguasa itu merupakan konsep penegakkan hukum yang juga dapat disebut sebagai ”sosiologi hukum negatif ”. Sosiologi hukum yang seharusnya mampu membaca harapan keadilan masyarakat umum (rakyat), tetapi oleh Orde Baru digunakan hanya untuk menciptakan hukum yang mampu menuruti kehendak pemimpinnya kala itu.

Ciri khas hukum yang memperturutkan diri dengan kehendak penguasa itulah yang menyebabkan pandangan sosiologi hukum menemukan tempat dipelbagai kalangan muda hukum. Sosok Satjipto bagi mereka adalah penuntun, itu sebabnya banyak dari para pemikir muda menjadi sangat terinspirasi dengan tulisan-tulisan Satjipto. Akan tetapi itu pula yang mungkin menyebabkan beberapa pemikir hukum lain menjadi ”cemburu” dengan Pak Tjip. Kritik-kritik terhadap pandangan sosiologi hukum yang diusung Satjipto dan pakar-pakar hukum progresif lainnya juga ditentang oleh pelbagai kalangan yang menasbihkan dirinya sebagai legal positivistik di Indonesia.

Namun Satjipto terus berpijak di atas kepercayaannya. Kelebihannya ialah daya tulisnya yang tak ada habisnya. Ratusan artikelnya terus mengalir tiap tahun di media-media nasional terkemuka. Buku-buku karanganya terbit dan mendapat sambutan sangat baik dari pembaca. Tahun ini saja (2009) menurut pengamatan sederhana penulis setidaknya terdapat tiga buku baru karya Satjipto.

Jagat Ketertiban Hukum

Satjipto adalah pemikir yang berkarya. Istimewanya adalah, ia merupakan salah satu pakar yang patut ditasbihkan sebagai ilmuwan yang istiqomah, setia dengan cara berpikir dan perjuangan. Dari awal ”melontarkan” karya-karya ilmiahnya, baik berbentuk buku, tulisan lepas, artikel ilmiah, dan lain-lain, Satjipto menggunakan pendekatan sosiologi hukum yang berkarakter progresif.

Satjipto yang haus menulis telah menghasilkan banyak karya-karya pemikiran sosiologi hukum yang mengkampanyekan semangat berhukum secara progresif. Istilah yang sering Satjipto gunakan untuk ”membumikan” pemikirannya adalah slogan ”berhukum dengan nurani”. Bagi Satjipto hukum harus memiliki hati nurani dikarenakan hukum itu sendiri adalah buatan manusia yang berguna untuk menyelesaikan persoalan manusia. Sehingga, menurut Satjipto, ”sejak hukum itu adalah persoalan manusia dan bukan semata-mata persoalan peraturan, serta sejak hukum itu ada untuk manusia dan bukan sebaliknya, bukankah sebaiknya hukum itu kita biarkan mengalir saja.”[22] Sifat hukum yang mengalir inilah yang sering dipertanyakan oleh banyak kalangan, khususnya kelompok legisme. Mereka menganggap Satjipto dan penganut sosiologi hukum telah memberikan pembenaran terhadap praktek-praktek yang menyimpang atau melanggar hukum.[23] Tentu kesalah pahaman ini dibantah oleh Satjipto dan rekan-rekannya. Sosiologi hukum tidak memberikan ruang kepada pelaku kejahatan, namun sosiologi hukum berupaya menerapkan hukum agar mampu menumbuhkan ketertiban. Bukan hukum yang malah menambah kekacauan.

Para penganut paham sosiologi hukum berpendapat bahwa hukum bukanlah seperangkat peraturan yang mampu mengekang manusia. Hukum yang dibuat oleh manusia itu haruslah mampu mengikuti kehendak manusia dalam mencari keadilan dan ketertiban sebagai tujuan dari pembentukan aturan hukum. Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, menerangkan bahwa ketertiban merupakan tujuan utama dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban adalah syarat fundamental bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.[24] Menurut Satjipto dikarenakan tujuan berhukum adalah ketertiban, maka mustahil jika menjadikan hukum yang sangat normatif sebagai panduan menuju ketertiban. Hukum yang sangat normatif akan menjadi benda mati yang tidak mampu menyeimbangi perkembangan manusia sebagai makhluk yang bergerak. Hukum itu bagi Satjipto harus diberi kehidupan, bernafas sebagaimana layaknya manusia. Bahkan konstitusi sekalipun, sebagai produk hukum normatif tertinggi, harus memiliki kemampuan membaca kehendak setiap generasi ke generasi. Al-Gore, pemenang Nobel Perdamaian, pada masa kampanye pemilihan Presiden Amerika pada tahun 2000 pernah memberikan ungkapan penting mengenai betapa pentingnya sebuah konstitusi yang hidup.

I would look for justices of the Supreme Court who understand that our Constitution is a living and breathing document, that it was intended by our founders to be interpreted in the light of the constantly evolving experience of the American people.[25]

Konsep yang dipaparkan Al-Gore tersebut dikenal dengan pemahaman the living constitution. Itu sebabnya dalam bidang kajian Hukum Tata Negara, penganut teori the living constitution didominasi oleh para pemikir paham sosiologi hukum yang berpendapat bahwa hukum haruslah “hidup”. Satjipto memberikan sumbangsih tidak sedikit dari tumbuh dan berkembangnya paham the living constitution di Indonesia, setidaknya melalui tulisan lepasnya di media-media terkemuka. Empat tahapan amandemen sesungguhnya memperlihatkan bahwa paham the living constitution telah menjadi panutan dari kalangan praktisi hukum, politik, dan masyarakat (baca: organisasi non pemerintah). Walaupun terdapat kelompok-kelompok yang ingin mengembalikan supremasi UUD terdahulu, namun UUD hasil amandemen terus memayungi dan digunakan dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Begitu pula dengan sosiologi hukum, para penentangnya terus ada dari waktu ke waktu, namun sosiologi hukum tetap menemukan tempat di hati para penganutnya.

Melalui karya-karyanya Satjipto terus sibuk ”berkampanye” mengenai perlunya keberadaan sosiologi hukum dalam cara pandang hukum kita. Awalnya sosiologi hukum dicemooh sebagai sesuatu yang akan menghancurkan ilmu hukum, ternyata saat ini kajian mengenai hukum yang ”mampu hidup dan bernafas” itu semakin digandrungi para pemikir-pemikir muda hukum. Kesemuanya itu tidak lepas dari peran Satjipto yang tak letih-letih terus aktif menuliskan pemikirannya tersebut dipelbagai media.

Pada karya pertamanya yang berjudul Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum (1977) merupakan buku yang mencoba menggali betapa pentingnya hukum yang mampu mengenal ”keinginan” masyarakat yang diaturnya. Karya tahap awal ini sesungguhnya bukanlah tema yang baru bagi kalangan intelektual dan pemerhati hukum di Indonesia. Banyak pakar yang juga berusaha untuk mengkaji perkembangan hukum melalui sudut ilmu sosiologi. Namun kesemuanya belum mampu menciptakan kerangka berpikir terhadap arah seperti apa yang diinginkan dari membangun hukum yang bercitarasa sosiologi tersebut. Satjipto semakin ”matang” dalam perjuangannya memperkenalkan sosiologi dari segi yang sangat progresif, hukum yang bergerak menuju sebuah ketertiban dan keadilan yang ingin dicari manusia pembuat hukum itu sendiri.

Di Tahun 1982 terbitlah buku berjudul, Ilmu Hukum, yang menurut penulis berisikan perbandingan cara pandang berhukum pelbagai bangsa-bangsa di dunia. Namun dengan gigihnya dalam buku ini Satjipto membubuhkan nilai-nilai sosiologi hukum. Hukum, menurut Satjipto bermula dari kehidupan sosial kultural suatu komunitas. Hukum dan masyarakat saling membangun satu sama lain, ada sebuah ’simbiosis mutualisme” antara hukum dan masyarakat. Sehingga cara-cara bangsa-bangsa berhukum tidak berlangsung dalam suatu ruang hampa, tetapi sarat dengan nutrisi sosial kultural tertentu.[26] Jepang telah dijadikan contoh suatu masyarakat yang memegang tradisi secara kokoh, yang akhirnya menurut Satjipto telah mampu menentukan hukum yang seperti apa yang harus diterapkan di dalam negaranya.

Itu sebabnya dalam buku Biarkan Hukum Mengalir (2007), Satjipto dengan lugas menceritakan ”anekdot” mengenai cara pandang berhukum dua pejalan kaki, yang satu orang Jepang dan satu lagi orang Barat. Ketika di sebuh persimpangan jalan, dikisahkan, dua orang yang akan melintasi sebuah jalan tersebut dihentikan langkahnya oleh traffic lights. Namun sebelum lampu merah untuk pejalan kaki berganti dengan lampu hijau, ternyata kendaraan yang lewat sudah tidak ”berseliweran” lagi. Si Barat kemudian menyarankan sahabat Jepangnya untuk segera bersama-sama menyeberang. Akan tetapi si Jepang menolak ajakan tersebut dengan menyatakan, ”akan saya kemanakan muka saya seandainya ada orang yang melihat saya menyeberang jalan ketika seperti ini.”[27]

Bagi Satjipto deskripsi tersebut merupakan gambaran tepat dalam melihat cara pandang orang-orang dalam menjalankan hukum itu sendiri. Bagi si Barat, hukum hanyalah alat pengatur ketertiban, ketika ketertiban telah tercipta maka hukum dapat diabaikan. Ketika lampu lalu lintas yang berguna sebagai alat menertibkan pemanfaatan lalu lintas oleh para pengguna jalan (pejalan kaki dan pengendara bermotor) telah berfungsi sebagaimana mestinya, dan kondisi yang diatur tidak sesuai lagi (dimana tidak ada kendaraan yang lalu lalang), maka para pejalan kaki dapat berlalu tanpa perlu dikekang warna lampu traffic lights. Berbeda dengan si Barat, orang Jepang dalam menjalankan hukum juga mengaitkannya dengan harga diri. Sehingga proses ketaatan berhukum mereka tidak semata-mata untuk sebuah filosofi menaati peraturan tetapi juga norma-norma sosial yang mereka hormati sebagai sebuah aturan yang mampu menertibkan.

Masyarakat Jepang yang memiliki karakter berhukum sendiri itulah yang juga ingin dibangun Satjipto dalam kepribadian berhukum bangsa Indonesia. Masyarakat Nusantara yang beragam memiliki karakter berhukum sendiri, tidak mungkin diseragamkan. Akibatnya jika produk hukum nasional dipaksakan diterapkan kepada masyarakat yang memiliki tata cara berhukum sendiri, maka yang timbul bukanlah ketertiban, padahal itu hal itu merupakan salah satu tujuan pokok huku. Satjipto bahkan mengandaikan pemaksaan tersebut seperti memasukan kambing dan harimau dalam satu kandang.[28] Hukum Nasional pasti akan ”memaksa” hukum yang sudah tumbuh dan kembang dalam masyarakat-masyarakat Nusantara jauh sebelum hukum Nasional itu sendiri mendapat tempat. Bagi Satjipto aturan hukum haruslah dibaca secara progresif, tidak hanya mengimplementasikan ”ayat-ayat” hukum secara utuh tanpa melihat konteks sosiologisnya. Bahkan menurutnya seluruh bidang ilmu hukum harus juga melihat konteks keterkaitannya dengan ilmu-ilmu lain, seperti hubungannya dengan ilmu sosiologi, antropologi, ekonomi, psikologi dan lain-lain sebagainya. Sehingga, misalnya diperlukan juga menurut Satjipto dari ruang ilmu konstitusi seorang pakar Antropologi Hukum Tata Negara.[29]

Berpikir Progresif

Cara berpikir hukum yang tidak hanya melihat aturan hukum formal tersebut dikembangkan Satjipto dengan slogan hukum progresif. Pergerakan hukum dengan cara progresif tersebut dianggap begawan hukum itu sangat penting sekali bagi dunia hukum Indonesia. Permasalahan hukum dimana saja, termasuk di Indonesia, dalam pandangan Satjipto timbul ketika budaya hukum mulai memasuki tradisi dituliskan (written law). Hukum kemudian menjadi formal dan terbirokrasikan, struktural, bahkan rasionalisasinya berdasarkan teks-teks hukum yang harus sesuai dengan bunyi pasal-pasal aturan perundang-undangan. Akibatnya hukum tidak lagi memiliki ”ruh” kemanusiaan padahal hukum dibentuk untuk menyelesaikan permasalahan kemanusian. Kemudian, untuk mengatasi permasalahan formalisasi hukum tersebut, dalam pergerakan hukum progresif, pemaknaan terhadap teks aturan hukum menjadi sesuatu yang sangat penting sekali. Satjipto menjelaskan mengenai hal tersebut sebagai berikut;

Bahkan tidak berlebihan apabila kita dapat mengatakan, bahwa penafsiran hukum itu merupakan jantung hukum. Hampir tidak mungkin hukum bisa dijalankan tanpa membuka pintu penafsiran. Penafsiran hukum merupakan aktifitas yang mutlak terbuka untuk dilakukan, sejak hukum berbentuk tertulis. Diajukan sebuah adagium. ”Membaca hukum adalah menafsirkan hukum.” Mengatakan teks hukum sudah jelas, adalah suatu cara saja bagi pembuat hukum untuk bertindak pragmatis seraya diam-diam mengakui, bahwa ia mengalami kesulitan untuk memberikan penjelasan.[30]

Berpikir dan bertindak hukum secara progresif tersebut berguna untuk memperbaiki kealpaan dari rumusan perundang-undangan dalam penerapannya. Satjipto meyakini bahwa tidak ada rumusan satu undang-undang pun yang absolut benar, lengkap, dan komprehensif. Oleh karena itu, menurut Satjipto penafsiran hukum merupakan sebuah ”sarana” yang dapat menjembatani kekurangan aturan objek yang dirumuskan dengan perumusannya.

Oleh kritikusnya cara kalangan sosiologis (terutama sosiologi hukum) yang memandang sebuah aturan hukum dengan meyakini bahwa aturan itu tidak akan sempurna dan memiliki pelbagai kekurangan ”diserang” dengan sebutan pesimisme. Hal itu terlihat sekali dari kutipan Max Weber yang diambil dari perkataan Goethe mengenai kondisi manusia; ”para spesialis tanpa spirit, hedonis tanpa hati; kehampaan ini membayangkan dirinya telah mencapai taraf peradaban yang belum pernah ada sebelumnya”.[31] Kecurigaan yang dibangun oleh Weber dan kalanagan sosiologi bukan tidak memiliki penyebab sama sekali.

Kondisi mencurigai aturan hukum dan manusia yang menjalankannya tersebut jika ditelusuri timbul dari pemberlakuan hukum modern dan postmodern yang harus menggunakan rasionalisasi, formalisasi, dan birokrasi hukum, sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa hal tersebut merupakan sisi negatif dari hukum tertulis. Satjipto dalam buku ”Hukum dalam Jagat Ketertiban” mempertanyakan kodifikasi dan formalisasi aturan hukum itu. Menurutnya hukum menjadi bukan untuk manusia, tapi manusia yang ”diperbudak” oleh hukum. Berlahan-lahan namun pasti hukum modern dan postmodern mengikis keradaan hukum pramodern. Menurut Satjipto saat ini bukan lagi proses kemanusiaan yang berlangsung, tetapi proses hukum.[32] Akibatnya bukanlah ketertiban yang manusiawi yang timbul melainkan ketertiban hukum belaka. Hukum sebagai alat kemudian ”diperalat” untuk memperturuti hawa nafsu orang-orang tertentu yang mampu mengendalikan hukum. Ketertiban dan keadilan menjadi tidak berpegang kepada rasa kemanusian tetapi melihat kehendak formalisasi hukum.

Untuk itu menurut Satjipto penafsiran hukum progresif dibutuhkan untuk kembali memanusiakan aturan hukum yang sangat kaku (baca: formal). Cara itu berguna agar hukum mampu mencapai kehendak tertinggi dari keinginan manusia di dunia yaitu kebahagian. Hukum berfungsi mencapat harapan-harapan tersebut, menurut Satjipto hendaknya hukum bisa memberikan kebahagian kepada rakyat dan bangsanya.[33]

Untuk mencapai kebahagian itu, hukum sebagai alat harus mampu dipraktikan secara luar biasa dan progresif. Masyarakat memang membutuhkan ketertiban serta keteraturan, sebab itu masyarakat membutuhkan hukum. Namun ketertiban hukum tidak harus menghalangi manusia untuk bertindak progresif agar hukum menjadi hidup dan menyentuh aspek-aspek keadilan di masyarakat.

Mahkamah Konstitusi dari Sudut Satjipto

Sebagai sebuah lembaga peradilan, Mahkamah Konstitusi (MK) pastilah bersentuhan dengan masyarakat pencari keadilan. Itu bermakna bahwa MK pun tidak akan luput dari pengamatan para ahli sosiologi hukum. Satjipto Rahardjo sendiri juga adalah salah satu pakar yang seringkali memberikan kritik-kritik membangun bagi pondasi tiang sembilan penjaga konstitusi negara ini. Jika membaca tulisan Satjipto di Harian Kompas berjudul ”Sisi Lain Mahkamah Konstitusi” dapat terlihat bagaimana ia ingin agar lembaga peradilan konstitusional tersebut juga menjalankan prinsip sosiologi hukum dalam putusannya.[34] Satjipto juga mengomentari pelbagai putusan MK melalui tulisannya. Misalnya terhadap putusan MK yang berkaitan dengan pengujian Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terlihat bagaimana kecewanya Satjipto ketika timbul permasalahan Prita Mulyasari yang menggunjang peradaban penegakan hukum Indonesia. Ia memang tidak menyalahkan putusan MK dalam kasus tersebut, namun ia hanya mencontohkan betapa kasus tersebut berkaitan dengan perilaku manusia yang menjalankan hukum.[35]

Dalam tulisannya yang lain Pak Tjip bahkan menganggap kewenangan menafsir aturan hukum yang dilakukan lembaga peradilan adalah sebuah sarana dalam menafsir hukum secara progresif yang bermula pada kasus Madison versus Marbury di Amerika.[36] Hakim adalah harapan para justiabelen (pencari keadilan) oleh karena itu mereka harus membaca jiwa yang terkandung di dalam teks-teks hukum sebagaimana dipopulerkan oleh Ronald Dworkin (moral reading of law).[37]

Satjipto juga mengusulkan agar MK mampu membaca seluruh kondisi lapisan sosial, maka hakim-hakim MK semestinya tidak hanya diisi oleh orang-orang lulusan ilmu hukum. Menurut Satjipto dikarenakan MK mengurusi banyak aspek kehidupan bangsa, sehingga permasalahan bangsa ini tidak hanya harus diserahkan semata-mata kepada para ahli hukum, melainkan juga sosiolog, antropolog, ilmuwan politik, ekonomi, sejarawan, rohaniawan, dan lain-lain.[38] Menurut Satjipto tindakan merubah aturan main hukum yang berani tersebut diperlukan. Dalam konteks sejarah kemajuan-kemajuan hukum, tindakan yang dilakukan pastilah tidak biasa, melainkan menempuh langkah yang dianggap Satjipto sebagai rule breaking yang sangat visioner. Pak Tjip mencontohkan dalam kajian ilmu Hukum Tata Negara dan peradilan dikenal langkan visioner Ketua Supreme Court (Mahkamah Agung) Amerika Justice John Marshall di tahun 1803 yang memutuskan bahwa peradilan berhak membatalkan undang-undang.[39] Bagi Satjipto begitulah seharusnya gerak hukum yang berkeadilan, hukum harus bertindak progresif, bukan hukum yang mati rasa.

Paham progresif yang diusung Satjipto merupakan salah satu keilmuwan yang mewarnai jagat hukum di Indonesia. Kiprah Satjipto patut dihargai dalam upayanya ”mendidik” manusia dan aparat hukum Indonesia untuk masuk ke dalam jagat ketertiban hukum yang bergerak progresif. Tulisan ini merupakan sebuah penghargaan bagi Pak Tjip yang diusianya saat ini (78) tidak pernah letih ”meneriakkan” semangat keadilan sesungguhnya.

Daftar Pustaka

Buku

Asshiddiqie, Jimly, 2009, Green Constitution, Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Rajawali Press

Beilharz, Peter, 2005, Teori-Teori Sosial, Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka, Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Dirdjosisworo, Soedjono, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2005

Dimyati, Khudzaifah, 2005, Teorisasi Hukum, Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Surakarta: Muhammadiyah University Press

Drury, Shadia B., 1986, Hukum dan Politik, Bacaan Mengenai Pemikiran Hukum dan Politik, Bandung: Penerbit Tarsito

Lon L. Fuller, 1969, The Morality of Law, New Haven dan London: Yale University Press

Gurvitch,Georges, 1996, Sosiologi Hukum, Jakarta: Penerbit Bharatara

Kranenburg, diterjemahkan Tk. B. Sabaroedin, 1959, Ilmu Negara Umum, Jakarta : J.B. Wolters

Kusumaatmadja, Mochtar, 2006, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung: Penerbit Alumni

Rahardjo, Satjipto, 2006, Hukum dalam Jagat Ketertiban, Jakarta: Penerbit UKI Press

Rahardjo, Satjipto, 2002, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Surakarta: Muhammadiyah University Press

Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Rahardjo, Satjipto, 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Rahardjo, Satjipto, 2006, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Kompas

Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Bandung; Penerbit PT. Citra Aditya Bakti

Artikel Koran

Kompas, Satijpto Rahardjo, Sisi Lain Mahkamah Konstitusi, 5 Januari 2009

Kompas, Satjipto Rahardjo, MA yang Progresif, 23 Januari 2009

Kompas, Satjipto Rahardjo, Berhukum dengan Nurani, 8 Juni 2009


Definisi Hukum (Menurut Beberapa Pakar)

Definisi hukum menurut beberapa pakar yaitu:

R. Soeroso, SH
Definisi hukum secara umum : himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.

Unsur-unsur yang terkandung dalam definisi hukum sebagai berikut :
1. peraturan dibuat oleh yang berwenang
2. tujuannya mengatur tata tertib kehidupan masyarakat
3. mempunyai ciri memerintah dan melarang
4. bersifat memaksa dan ditaati

Abdulkadir Muhammad, SH
Hukum : segala peraturan tertulis dan tidak tertulis yang mempunyai sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya.

Drs. C.S.T. Kansil, SH
Hukum itu mengadakan ketata-tertiban dalam pergaulan manusia, sebagai keamanan dan ketertiban terpelihara.

J.C.T. Simorangkir, SH dan Woerjono Sastropranoto, SH
Hukum itu ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran-pelanggaran yang dikenai tindakan-tindakan hukum tertentu.

Plato
Hukum merupakan peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.

Aristoteles
Hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim.

E. Utrecht
Hukum merupakan himpunan petunjuk hidup - perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah/penguasa itu.

Sebabnya hukum ditaati orang menurut Utrecht, yaitu:

1. Karena orang merasakan bahwa peraturan dirasakan sebagai hukum. Mereka benar berkepentingan akan berlakunya peraturan tersebut.

2. Karena orang harus menerimanya supaya ada rasa ketentraman. Penerimaan rasional itu sebagai akibat adanya sanksi-sanksi hukum supaya tidak mendapatkan kesukaran, orang memilih untuk taat saja pada peraturan hukum karena melanggar hukum mendapat sanksi hukum.

3. Karena masyarakat menghendakinya. Dalam kenyataannya banyak orang yang tidak menanyakan apakah sesuatu menjadi hukum/belum. Mereka tidak menghiraukan dan baru merasakan dan memikirkan apabila telah melanggar hingga merasakan akibat pelanggaran tersebut. Mereka baru merasakan adanya hukum apabila luas kepentingannya dibatasi oleh peraturan hukum yang ada.

4. Karena adanya paksaan (sanksi) sosial. Orang merasakan malu atau khawatir dituduh sebagai orang yang asosial apabila orang melanggar suatu kaidah sosial/hukum.

Sedangkan tujuan hukum itu sendiri menurut:
1. Apeldoorn adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil.

2. Prof. Soebekti, tujuan hukum adalah mengabdi tujuan negara yang intinya mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan rakyatnya.